Senin, 02 Oktober 2017

Sepetak ruang berkabut





Sekali pernah ku langkahkan kaki di keramaian. Misalnya saja mall, bar, house karaoke, atau sejenisnya. Tetap kudapati sepi. Berulangkali ku hinggapi tempat sunyi, misalnya tepi sawah lintasan kereta, sungai berdinding batu-batu besar, hingga kuburun di perempatan jalan. Bahkan semua itu lebih sepi dari yang kuduga. Ketika hidup berkelana mencari keramaian tak sedikitpun kudapati. Hidup memang pelik, seolah tak berkutik, selalu diam memekik. Itulah yang kuresapi.
Bukan hanya 1 hari atau dua hari. Bahkan hingga sampai usia 6 tahun sudah aku hanya berpura-pura melupakan semuanya. Termasuk melupakan sosok mu, melupakan sifat mu, melupakan perangaimu, hingga melupakan semua hal yang telah menjadi kenangan. Kenangan seolah mimpi yang terus menjadi nyata.  Kenangan ini sering berlagak seperti duri tajam yang terinjak kaki, bedanya kenangan ini menusuk hati. Seperti racun berbisa yang dapat dapat membuat kematian.
Bertahun tahun semua kutumpahkan pada sebuah buku usang. Kerinduanku, keinginanku, kebodohanku, kemunafikanku semua tertulis indah pada satu buku ini. Menuliskan segala sesuatu kepelikan hidupku pada suatu buku sedikit mengobati rasa sakit yang ada. Sedikit melegakan rongga dada yang sesak seperti dikepul asap tebal. Semacam pil yang bisa mengobati sakit.
Aku sesekali keluar kamar berbagi nafas dengan sekitar. Menghirup desah desah hempasan angin menerpa. Setiap hari aromanya berbeda. Ada harum. Ada busuk. Tak jarang keduanya berbaur. Tak lama aku ingin menikmatinya. Hanya sekitar 2 menit saja setiap kalinya. Sesekali duduk di di kursi kayu yang sudah tua dan sepertinya hampir lapuk. Disorot sinar matahari yang hangat. Menyilaukan mata yang selalu ingin menyipit ketika disorot. Hal ini pun tak lama berlangsung sekitar 2 menit juga. Halaman rumah menjadi saksi kebisuan yang ada. Rumah sederhana ini menjadi bukti segala rasa yang ada.
Tinggal seorang diri membuatku terkadang apatis. Bahkan mungkin sekitarku menganggap aku sinis. Tapi itu tak benar adanya. Aku yakin aku seorang yang empati. Kendati jarang ku realisasi. Seperti orang gila dengan pikirannya sendiri itulah yang sering ku alami. Walau tak jarang kusiksa diri sendiri dengan lirih-lirih sunyi yang aku sendiri penyebabnya.
Kutolak keras kedua daun jendela. Kusibak tirai gorden yang menjutai. Matahari mengernyitkan dahiku dengan sinarnya. Lama aku berdiri di balik kusen jendela. Entah apa alasannya. Berpikir keras tidak. Bersantai menikmati suasana pun tidak. Semua terasa abstrak tak bisa diungkapkan. Ada dua ekor burung, burung gereja sering orang orang menyebutnya, hinggap di dahan pohon yang hanya satu tangkainya itu. Kulihat kedua burung ini saling menoleh satu dengan yang lainnya. Seperti sedang memperbincangkan sesuatu yang urgent saja dengan bahasa mereka yang tak kan pernah kumengerti. Ah burung saja bisa sangat akrabnya. Bisa berbagi kisah setelah mereka terbang mengitari langit. Tidak denganku. Sulit diungkapkan dan mengungkapkan.
Kulongok ke arah jarum jam. 1 jam sudah berlalu waktu sejak aku berdiri sedari tadi. Gila pikirku. Tak kusadari selama itu aku memainkan angan yang tak tentu. Meniti tangga tangga khayal yang entah apa akhirnya. Diam bukan berarti emas. Bungkam bukan berarti pasrah. Tapi sendiri adalah pilihan yang kubuat. Membungkam perasaan dan keinginan itu  sesal yang harus kuterima.
Tok..tok.. kudengar pintu diketuk. Aku enggan membuka. Tok..tok.. kudengar sekali lagi. Akhirnya hatiku terenyah juga. Kubuka pintu dan tak berharap kejutan apapun kuterima. Sahabat lamaku yang sudah tak kutemui selama sepuluh tahun datang dan tetiba langsung memeluk tubuhku erat. Air mataku jatuh berurai. Berceceran hingga ke lantai. Dia menatapku penuh iba dan sedih.
“Mengapa rambutmu kasar dan keras?”, tanyanya lembut.
Aku diam sambil terus menitikkan air mataku.
“Mengapa mata bulatmu itu semakin menyipit?”, tanyanya kembali.
Aku belum bisa menjawab.
“Mengapa seluruh tubuhmu kelihatan tak bertulang karena begitu lemasnya?”, nada suaranya semakin meninggi.
“Mengapa kering badanmu ini?”, tanyanya dengan nada yang pasrah.
Aku belum bisa menjawab semua pertanyaan itu. Kami masih berdiri didepan pintu dan lupa untuk duduk. Aku berjalan ke arah kursi. Ku rebahkan tubuh renta ku ini. Air mata kubendung. Tak ingin kutumpahkan lagi. Ini entah sudah keseribu berapa kalinya air mata berurai. Sudah terlalu lelah mata sebenarnya.
“Aku sudah begitu lama tidak berinteraksi dengan siapapun tentang keadaanku. Aku terlau bodoh menerima semuanya. Aku terlalu tolol mencintainya, orang yang tak pernah mencintaiku. Aku terlalu berharap cinta yang tulus darinya. Aku begitu gila meratapi kehidupanku. Aku lemah untuk bangkit. Aku begitu pasrah dengan keterpurukan”, ujarku dengan nada terbata bata.
“Setiap aku bangkit dari tidurku. Aku menangis. Setiap aku ingin merebahkan tubuhku di kasur aku terisak. Aku begitu mencintainya. Aku begitu mengaguminya. Aku begitu menyayangi. Aku begitu hinanya terus berharap”, ujarku lirih
“Kudengar sayup sayup orang berkata untuk menjauhi kediamanku karena tingkah yang kadang sadar kulakukan. Sesekali aku meronta sesekali aku teriak sesekali aku terisak sesekali aku tertawa sesekali aku menangis. Mereka menyebutku gila dan tak waras lagi”, ujarku keras.
Sahabatku hanya bisa merangkul ku tulus. Dia tahu aku mencintai sesorang yang tak pernah mencintaiku. Dia menatapku dengan penuh keibaan. Dia tahu bahwa aku sudah berada diambang kehancuran. Kehancuran atas kebodohanku yang mendalam. Dia tak menyangga pernyataan ku. Dia membelai lebut kepala ku yang lusuh itu.
Ruangan ini sudah usang. Dipenuhi kabut airmata. Dipenuhi asap kesedihan. Dinaungi gelap kerinduan. Tak pernah ada pengunjung. Tak pernah ada tegur sapa. Tak pernah ada interaksi. Kepulan kabut tangis mendominasi. Pagi, siang dan sore selalu sesak sendiri. Kungangakan jendela agar udara berganti tetap tak bisa. Kabut kesedihan itu terus menyerbu. Kabut keterpurukan itu tak enggan pergi. Tak salah memang sekitar menyebutnya ruang kekelaman. Sepetak ruang yang berkabut.      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar