Sekali
pernah ku langkahkan kaki di keramaian. Misalnya saja mall, bar, house karaoke,
atau sejenisnya. Tetap kudapati sepi. Berulangkali ku hinggapi tempat sunyi,
misalnya tepi sawah lintasan kereta, sungai berdinding batu-batu besar, hingga
kuburun di perempatan jalan. Bahkan semua itu lebih sepi dari yang kuduga.
Ketika hidup berkelana mencari keramaian tak sedikitpun kudapati. Hidup memang
pelik, seolah tak berkutik, selalu diam memekik. Itulah yang kuresapi.
Bukan
hanya 1 hari atau dua hari. Bahkan hingga sampai usia 6 tahun sudah aku hanya
berpura-pura melupakan semuanya. Termasuk melupakan sosok mu, melupakan sifat
mu, melupakan perangaimu, hingga melupakan semua hal yang telah menjadi
kenangan. Kenangan seolah mimpi yang terus menjadi nyata. Kenangan ini sering berlagak seperti duri
tajam yang terinjak kaki, bedanya kenangan ini menusuk hati. Seperti racun
berbisa yang dapat dapat membuat kematian.
Bertahun
tahun semua kutumpahkan pada sebuah buku usang. Kerinduanku, keinginanku,
kebodohanku, kemunafikanku semua
tertulis indah pada satu buku ini. Menuliskan segala sesuatu kepelikan hidupku
pada suatu buku sedikit mengobati rasa sakit yang ada. Sedikit melegakan rongga
dada yang sesak seperti dikepul asap tebal. Semacam pil yang bisa mengobati
sakit.
Aku
sesekali keluar kamar berbagi nafas dengan sekitar. Menghirup desah desah
hempasan angin menerpa. Setiap hari aromanya berbeda. Ada harum. Ada busuk. Tak
jarang keduanya berbaur. Tak lama aku ingin menikmatinya. Hanya sekitar 2 menit
saja setiap kalinya. Sesekali duduk di di kursi kayu yang sudah tua dan
sepertinya hampir lapuk. Disorot sinar matahari yang hangat. Menyilaukan mata
yang selalu ingin menyipit ketika disorot. Hal ini pun tak lama berlangsung
sekitar 2 menit juga. Halaman rumah menjadi saksi kebisuan yang ada. Rumah
sederhana ini menjadi bukti segala rasa yang ada.
Tinggal
seorang diri membuatku terkadang apatis. Bahkan mungkin sekitarku menganggap
aku sinis. Tapi itu tak benar adanya. Aku yakin aku seorang yang empati.
Kendati jarang ku realisasi. Seperti orang gila dengan pikirannya sendiri
itulah yang sering ku alami. Walau tak jarang kusiksa diri sendiri dengan
lirih-lirih sunyi yang aku sendiri penyebabnya.
Kutolak
keras kedua daun jendela. Kusibak tirai gorden yang menjutai. Matahari
mengernyitkan dahiku dengan sinarnya. Lama aku berdiri di balik kusen jendela.
Entah apa alasannya. Berpikir keras tidak. Bersantai menikmati suasana pun
tidak. Semua terasa abstrak tak bisa diungkapkan. Ada dua ekor burung, burung
gereja sering orang orang menyebutnya, hinggap di dahan pohon yang hanya satu
tangkainya itu. Kulihat kedua burung ini saling menoleh satu dengan yang
lainnya. Seperti sedang memperbincangkan sesuatu yang urgent saja dengan bahasa
mereka yang tak kan pernah kumengerti. Ah burung saja bisa sangat akrabnya.
Bisa berbagi kisah setelah mereka terbang mengitari langit. Tidak denganku.
Sulit diungkapkan dan mengungkapkan.
Kulongok
ke arah jarum jam. 1 jam sudah berlalu waktu sejak aku berdiri sedari tadi.
Gila pikirku. Tak kusadari selama itu aku memainkan angan yang tak tentu.
Meniti tangga tangga khayal yang entah apa akhirnya. Diam bukan berarti emas.
Bungkam bukan berarti pasrah. Tapi sendiri adalah pilihan yang kubuat.
Membungkam perasaan dan keinginan itu
sesal yang harus kuterima.
Tok..tok..
kudengar pintu diketuk. Aku enggan membuka. Tok..tok.. kudengar sekali lagi.
Akhirnya hatiku terenyah juga. Kubuka pintu dan tak berharap kejutan apapun
kuterima. Sahabat lamaku yang sudah tak kutemui selama sepuluh tahun datang dan
tetiba langsung memeluk tubuhku erat. Air mataku jatuh berurai. Berceceran
hingga ke lantai. Dia menatapku penuh iba dan sedih.
“Mengapa
rambutmu kasar dan keras?”, tanyanya lembut.
Aku
diam sambil terus menitikkan air mataku.
“Mengapa
mata bulatmu itu semakin menyipit?”, tanyanya kembali.
Aku
belum bisa menjawab.
“Mengapa
seluruh tubuhmu kelihatan tak bertulang karena begitu lemasnya?”, nada suaranya
semakin meninggi.
“Mengapa
kering badanmu ini?”, tanyanya dengan nada yang pasrah.
Aku
belum bisa menjawab semua pertanyaan itu. Kami masih berdiri didepan pintu dan
lupa untuk duduk. Aku berjalan ke arah kursi. Ku rebahkan tubuh renta ku ini. Air
mata kubendung. Tak ingin kutumpahkan lagi. Ini entah sudah keseribu berapa
kalinya air mata berurai. Sudah terlalu lelah mata sebenarnya.
“Aku
sudah begitu lama tidak berinteraksi dengan siapapun tentang keadaanku. Aku
terlau bodoh menerima semuanya. Aku terlalu tolol mencintainya, orang yang tak
pernah mencintaiku. Aku terlalu berharap cinta yang tulus darinya. Aku begitu
gila meratapi kehidupanku. Aku lemah untuk bangkit. Aku begitu pasrah dengan
keterpurukan”, ujarku dengan nada terbata bata.
“Setiap
aku bangkit dari tidurku. Aku menangis. Setiap aku ingin merebahkan tubuhku di
kasur aku terisak. Aku begitu mencintainya. Aku begitu mengaguminya. Aku begitu
menyayangi. Aku begitu hinanya terus berharap”, ujarku lirih
“Kudengar
sayup sayup orang berkata untuk menjauhi kediamanku karena tingkah yang kadang
sadar kulakukan. Sesekali aku meronta sesekali aku teriak sesekali aku terisak
sesekali aku tertawa sesekali aku menangis. Mereka menyebutku gila dan tak
waras lagi”, ujarku keras.
Sahabatku
hanya bisa merangkul ku tulus. Dia tahu aku mencintai sesorang yang tak pernah
mencintaiku. Dia menatapku dengan penuh keibaan. Dia tahu bahwa aku sudah
berada diambang kehancuran. Kehancuran atas kebodohanku yang mendalam. Dia tak
menyangga pernyataan ku. Dia membelai lebut kepala ku yang lusuh itu.
Ruangan
ini sudah usang. Dipenuhi kabut airmata. Dipenuhi asap kesedihan. Dinaungi gelap
kerinduan. Tak pernah ada pengunjung. Tak pernah ada tegur sapa. Tak pernah ada
interaksi. Kepulan kabut tangis mendominasi. Pagi, siang dan sore selalu sesak
sendiri. Kungangakan jendela agar udara berganti tetap tak bisa. Kabut kesedihan
itu terus menyerbu. Kabut keterpurukan itu tak enggan pergi. Tak salah memang
sekitar menyebutnya ruang kekelaman. Sepetak ruang yang berkabut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar